Selasa, 29 Oktober 2019

Perjuangan dan Doa






Nama saya Firdaus Abdul Rahim lahir pada tahun 1999 di kabupaten Luwu’ timur, saya anak terakhir dari 10 bersaudara, saya terlahir dari kedua pasangan kedua mempelai Abdul Rahim dan Dasi, dari saudara saya yang sepuluh itu saya yang disabilitas netra.
            Tetapi itu tidak menghalangi saya untuk berkarya, di usia saya yang terbilang kanak- kanak orang tua saya tak mengurung saya di Rumah bahkan beliau mengajar saya tentang perihnya kehidupan. Terkadang ketika ayah saya menceritakan pengalamannya pada saat menduduki bangku sekolah hingga perguruan tinggi. Beliau bercerita bahwa, “Di saat saya bersekolah dulu saya tidak di dukung oleh kedua orang tua saya bahkan beliau tak usah kau sekolah, sekolah tidak sekolah kau akan kembali mengembala kambing.
            Namun, ayah saya tidak terpengaruh dengan perkataan kakek saya. Menurut ayah saya, kalau kita sekolah kita mempunyai banyak teman dan pengetahuan yang banyak. Kalimat inilah yang membuat saya untuk tetap konsisten dalam menjalani roda kehidupan.Walaupun saya sebagai seorang tunanetra saya juga ingin menunjukkan kepada bangsa dan Negara bahwa saya juga bisa melakukan apa yang dilakukan oleh semua orang.
            Menurut B.J.Habibie, “Ketika kita melaksanakan suatu problem maka harus konsisten denga napa yang di cita- citakan berlahan tapi pasti”. Kedua kebanggaan saya ini menjadi motifasi atau cambuk bagi saya ketika saya bermalas-malasan. Kini saya di usia yang terbilang remaja kini mencari jati diri dengan banyak berkarya agar dapat menikmati perihnya kehidupan, satu kata buat kedua pahlawan saya yang tercinta ini terima kasih atas ilmu yang kau turunkan kepada anak cucu mu terutama anak generasibangsa, berkati ilmu yang kau turunkan itu maka saya sebagai generasi muda melanjutkan perjuanganmu dalam hal menimbah ilmu setinggi- tingginya agar menjadi anak yang berprestasi bagi bangsa dan Negara.
            Satu prestasi yang paling besar bagi saya adalah mengikuti ajang pecan paralimpik pelajar nasional (PEPARPENAS) di mana waktu itu saya di panggil sebagai pengganti karena salah satu peserta sudah tidak bias lagi disebabkan usianya sudah lewat dari 17 tahun, sebelum berangkat mewakili Sulawesi Selatan saya dan atlet lainnya berlatih di gedung olahraga Sudiang selama 2 minggu, di hari karantina itu saya banyak mendapati pelajaran seperti teknik berlari dan lompat jauh, tak hanya itu, masa-masa karantina itu bagi saya sangat menyenangkan karena kita sesama peserta saling memahami karakter antara peserta lainnya sehingga tak ada yang saling meyakimi.
            Di selah-selah karantina tersebut, kami diberikan waktu satu hari untuk beristirahat memulihkan badan kami yang sudah remuk disamping itu kami bercanda dan tertawa terbahak- bahak merasakan remuknya tubuh ini. Satu yang paling menyakitkan bagi kami pada saat karantina   yaitu makan dibatasi, tidur harus cepat tidak boleh minum air es dan tidak boleh makan yang pedas- pedas. Setelah dua hari berjalannya karantina salah satu teman kami tertangkap saat makan lantas pelatih berjalan dan memeriksa makanan para atlet, pelatih pun mengatakan peserta yang makan lombo’(makanan pedas) lari keliling lapangan sebanyak 30 putaran.
            Dengan adanya kasus yang seperti itu semua atlet sadar dan berjanji tidak akan melakukan lagi perbuatan yang sama.
            Dua hari sebelum berangkat ke arena perlombaan semua atlet, pendamping dan pelatih mendapatkan kostum kontingen sebagai pertanda bahwa kita siap tempur di arena pertandingan. Arena kami pada saat itu berlokasi di Pulau Jawa tempatnya di ibukota Negara Indonesia (Jakarta). Sekitar 3 jam sebelum berangkat ke Bandara Sultan Hasanuddin saya dan atlet lainya berkumpul di lokasi karantina untuk pelepasan secara resmi oleh kepala dinas pemuda dan olahraga Sulawesi selatan di dalam sambutan beliau, iya memberikan semangat para atlet dan berharap bias menjadi kebanggaan Sulawesi selatan.
            Selama dalam perjalana nmenuju bandara saya berkenalan dengan sesama atlet dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan ada yang dari Makassar, Pangkep, Bulu’kumba, Selayar dan daerah lain di Sulawesi selatan. Ada pun kendaraan yang kami tumpangi pada saat itu adalah pesawat Garuda Indonesia langsung Makassar-Jakarta yaitu di bandara Sukarno Hatta. Setibanya kami di sana kami mendatangi penginapan yang telah di sedia kan oleh panitia dan langsung mengadakan klasifikasi perlombaan. Perlu saya sampaikan ke semua pembaca bahwa, event ini diadakan 1 kali dalam 2 tahun bagi pelajar yang usianya di bawah 17 tahun. Ada pun provinsi yang membawa  atlet- atlet unggulannya pada saat itu adalah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan, Jakarta dan masih banyak provinsi yang saya tidak sebutkan. Sementara itu proses pelaksanaan klasifikasi di laksanakan di penginapan mulai dari pukul 19.00 hingga pukul 00.00 waktu Indonesia Barat, tak han yaitu cabor yang akan di pertandingkan sebagai berikut, lari 100m, 200m, 400m, lompat jauh, tolak peluru, lempar cakram, tenis meja, renang dan masih banyak cabor lainnya.
            Kegiatan ini berlangsung selama 1 minggu dan di selah- selah kegiatan saya dan para atlet dari berbagai daerah provinsi lainnya saling berkenalan seperti kata pepatah tak kenal maka tak sayang.Waktu terus berputar pada tempat yang sudah di tentukan oleh tuhan yang maha kuasa itu berarti kami tidak lama lagi menikmati indahnya ibu kota Negara ini kami harus kembali ke kampung halaman kami untuk memperlihatkan kepada provinsi kami bahwa kami bukan pengecut dan kami tak mau dikatakan berani dalam kandang. Namun itu berlaku pada saat bertanding sesudah itu kita bersahabat lagi. Sebelum kami meninggalkan tanah ibu kota Negara, saya dan rombongan Sulawesi selatan saling bermaaf-maafan dengan rombongan provinsi lainnya dan berharap semoga kita kedepan bisa bertemu di event yang lain.
            Satu kata buat kita semua usaha tak pernah mengkhianati hasil karena kita juga bisa, tak hanya bermaaf-maafan kami juga saling tukaran topi dan jaket sebagai kenang-kenangan kami dan yang paling terakhir yang kami kunjungi selama di ibukota Negara adalah Masjid Istiklal dan monumen nasional di kedua tempat tersebut kami melihat pemandangan ibukota yang indah yang memiliki banyak gedung- gedung yang tinggi bagaikan pencakar langit.
            Satu kesyukuran bagi saya pribadi yaitu masuknya saya dalam 5 besar walaupun tidak mendapatkan mendali tetapi itu merupakan cambuk atau penyemangat dalam suatu karya dan event, menurut atlet yang sudah berpengalamandalam dunia keolahragaan menuturkan “Kalah menang itu soal biasa yang penting jangan ada dendam diantara kita”.
Firdaus Abdul Rahim (Penulis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pandemi Tak Kunjung Usai, Keluarga Cemas Karena Tak Ada Yang Mudik

Selama kura n g lebih setahun P andemi merajai dunia maka aktifitas manusia sangat dibatasi, semua kegiatan diatur melalui jaringan internet...