Di sekitar akhir 2018 saya bersama kawan- kawan PERDIK (pergerakan difabel untuk kesetaraan) membahas tentang isu- isu disabilitas,
yang berlokasi di taman baca Ininawa kabupaten Maros, kegiatan tersebut berjalan
kurang lebih 4 hari. Adapun lembaga yang hadir pada saat itu PERDIK Sulsel,
Gergatin Makassar, DPD PERTUNI Sulsel dan perwakilan dari KEMEMPORA.
Di dalam diskusi tersebut pemateri menjelaskan kepada peserta
tentang stikma atau lebel (cap miring) yang terjadi di Masyarakat seperti, “Ketika
di waktu pagi lantas sada orang disabilitas yang mau menumpangi Mikrolet menurut
sebahagian orang disabilitas itu membawa sial atau rezeki kurang didapat kalau pagi-
pagi kita muat orang disabilitas”. Stetmen inilah yang akan di perjuangkan agar
masyarakat tahu bahwa disabilitas itu bias juga seperti layaknya orang pada umumnya.
Di akhir
kegiatan tersebut semua peserta disuruh untuk mencari warg adalam hal wawancara
mengenai isu-isu disabilitas. Menurut ibu Jum pada saat ditemui di halaman Rumahnya,
“Orang disabilita situ orang yang ketidak berfungsian sosial karena cacat, jadi
perlu ada perhatian dari pemerinta khususnya dinas sosial”.
Berbeda
dengan bapak Martin saat di temui di selah- selah kesibukannya menjelaskan
kepada kami Bahwa, “Semua manusia itu tidak ada yang berbeda semua sama di mata
tuhan dan kalau masalah kecacatan itu sudahdiatur oleh tuhan yang mahakuasa”.
Tak hanya itu, pensiunan tentara ini saat kami Tanya apakah anak disabilitas itu
berhak untuk sekolah? Iya mengatakan berhak sebagaimana dikatakan dalam UUD 45 “Bahwa
semua warga Negara Indonesia wajib mendapatkan pendidikan yang layak, apa tak lagi
di zaman modern ini ilmu dan teknologi semakin berkembangdansemua aksesgampang
di jangkau melalui teknologi yang adasaat ini. Setelah wawancara itu terlaksana
dengan baik maka masing- masing peserta diskusi mempersentasikan di depan pemateri,
namun sebelumitu, semua peserta di Tanya tentang pengalamanya mewawancarai narasumber.
Menurut salah satu peserta yang berinisial HM, “Saya sulit berkomunikasi dengan narasum
berkarena saya tidak paham apa yang di bicarakan, apalagi saya seorang tunarumu
makanya saya sulit untuk berkomunikasi seandainya ada teman-teman penerjemah
yang ikut maka saya bisa paham apa yang di bicarakan oleh teman- teman yang
lain”.
Selain
dari pada itu di akhir kegiatan tersebut semua peserta dan kakak- kakak panitia
membawa kami menikmati wisata alam Bantimurung
disaat menuju ke wisata tersebut saya banyak berbincang dengan kakak- kakak panitia
mengenai isu- isu disabilitas yang akan di muat dalam tulisan seperti, tempat wisata
yang kurang akses bagi disabilitas dan tempat umum lainnya.
Firdaus Abdul Rahim
Tulisan ini menarik untuk dibaca. Cara bertuturnya mengalir dan dengan mamasukan hasil wawancara dari lebih dari satu orang, dapat memberikan perspektif yang lebih luas perihal bagaimana orang-orang memandang disabilitas.
BalasHapusIdenya sangat bagus. Namun dari segi teknis penulisan, ke depannya lebih diperhatikan lagi kesalahan pengetikan dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Misalnya kata stikma seharusnya pakai g, bukan k, kata stetmen diganti menjadi pernyataan.
Semangat menulis, kami tunggu tulisan Firdaus selanjutnya.
Apa perbedaan stekmen dengan pernyataan?
Hapuspertnyataan dalam bahasa Inggris disebut statement. Belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kalau mau pakai statement bisa, yang penting penulisannya benar, dan dicetak miring.
HapusWaah, Keren tulisannya Daus. Semangat!Setuju dengan Kak Ahmad, tulisannya menarik, karena sudah ada pendapat dari beberapa orang tentang disbailitas.
BalasHapusNah, untuk perbaikan tulisan, ada sedikit tambahan, untuk penempatan foto sebaiknha diatur terpisah. Misalnya, satu foto pembuka tulisan, satu foto setelah paragraf dua atau tiga, satu foto di akhir tulisan.